Berkaitan dengan Natal, ada sebuah peristiwa yang kerap dikenang masyarakat Indonesia, yaitu munculnya sebuah fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan umat Muslim untuk mengikuti perayaan Natal. Sebabnya tidak lain adalah karena dalam perayaan Natal tersebut ada ritual-ritual peribadatan agama Kristen, dan menghadiri peribadatan agama lain adalah terlarang bagi seorang Muslim.
Ads by
Munculnya wacana perayaan Natal bersama di masa-masa awal Orde Baru memaksa MUI untuk bertindak cepat. Buya Hamka, ulama besar Muhammadiyah yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI, menceritakan secara singkat peristiwa ini dalam artikelnya, Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?:
“Maka bertindaklah Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H. Syukri Ghazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Natal adalah Haram! Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.”
Artikel yang dimuat di Majalah Panji Masyarakat tahun 1981 dan kemudian dimuat kembali di Majalah Dakwah pada 2008 ini adalah semacam penjelasan seputar masalah yang kemudian bergulir menjadi besar ini. Buya Hamka sendiri kemudian menjadi bulan-bulanan pemerintah Orde Baru karena Fatwa MUI tersebut dan memilih mundur dari jabatannya ketimbang mengubah fatwa hasil diskusi para ulama.
Dari cuplikan di atas, kita dapat melihat sendiri bahwa pendirian Hamka sesungguhnya bahkan lebih tegas lagi ketimbang kesepakatan Komisi Fatwa MUI. Jika menurut Komisi Fatwa menghadiri perayaan Natal itu haram atau berdosa, maka menurut Hamka, hukum sejatinya adalah murtad. Tentulah setiap Muslim mengerti bedanya haram dengan murtad.
”Soal ucapan selamat memang sedikit berbeda dengan menghadiri perayaan Natal. Ulama mengharamkan kehadiran seorang Muslim dalam perayaan Natal. Tapi, ada ulama yang bolehkan Muslim untuk beri ucapan selamat.”
Setelah Orde Lama memenjarakan Buya Hamka selama dua tahun tanpa peradilan, Orde Baru pun mengabaikan jasa-jasanya dan seolah berusaha menghapus nama beliau dari ingatan masyarakat. Barulah pada 2011 beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional, tiga puluh tahun setelah wafatnya. Sebuah penganugerahan yang sangat terlambat. Agaknya, "luka" menganga akibat fatwa tadi tak kunjung sembuh.
Jika kita bertanya kepada siapa pun yang mengenal Buya Hamka secara pribadi, takkan ada yang menyebut beliau sebagai pribadi yang intoleran. Beliau senantiasa bersikap santun dan pemaaf, termasuk kepada mereka yang pernah menzaliminya sekalipun.
Hal itu diperlihatkannya ketika berinteraksi dengan anak Pramoedya Ananta Toer (sastrawan Lekra yang menjadi lawan politiknya dahulu) dan juga ketika sudi mengimami salat jenazahnya Bung Karno, meski rezim Bung Karno telah menyakitinya sedemikian rupa.
Kisah-kisah ini dituturkan oleh Rusydi Hamka, putra beliau, dalam bukunya, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, dan oleh Irfan Hamka, putra beliau yang lain, dalam bukunya, Kisah-kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.
Seorang ulama yang menyatakan apa yang haram bagi umat Muslim tentu tidak dapat disebut sebagai figur intoleran atau tidak menghargai keragaman. Demikian pula umat Muslim yang mengikuti pendapatnya tidak layak dianggap intoleran, apalagi radikal.
Ads by
Munculnya wacana perayaan Natal bersama di masa-masa awal Orde Baru memaksa MUI untuk bertindak cepat. Buya Hamka, ulama besar Muhammadiyah yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI, menceritakan secara singkat peristiwa ini dalam artikelnya, Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?:
“Maka bertindaklah Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H. Syukri Ghazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Natal adalah Haram! Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.”
Artikel yang dimuat di Majalah Panji Masyarakat tahun 1981 dan kemudian dimuat kembali di Majalah Dakwah pada 2008 ini adalah semacam penjelasan seputar masalah yang kemudian bergulir menjadi besar ini. Buya Hamka sendiri kemudian menjadi bulan-bulanan pemerintah Orde Baru karena Fatwa MUI tersebut dan memilih mundur dari jabatannya ketimbang mengubah fatwa hasil diskusi para ulama.
Dari cuplikan di atas, kita dapat melihat sendiri bahwa pendirian Hamka sesungguhnya bahkan lebih tegas lagi ketimbang kesepakatan Komisi Fatwa MUI. Jika menurut Komisi Fatwa menghadiri perayaan Natal itu haram atau berdosa, maka menurut Hamka, hukum sejatinya adalah murtad. Tentulah setiap Muslim mengerti bedanya haram dengan murtad.
”Soal ucapan selamat memang sedikit berbeda dengan menghadiri perayaan Natal. Ulama mengharamkan kehadiran seorang Muslim dalam perayaan Natal. Tapi, ada ulama yang bolehkan Muslim untuk beri ucapan selamat.”
Setelah Orde Lama memenjarakan Buya Hamka selama dua tahun tanpa peradilan, Orde Baru pun mengabaikan jasa-jasanya dan seolah berusaha menghapus nama beliau dari ingatan masyarakat. Barulah pada 2011 beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional, tiga puluh tahun setelah wafatnya. Sebuah penganugerahan yang sangat terlambat. Agaknya, "luka" menganga akibat fatwa tadi tak kunjung sembuh.
Jika kita bertanya kepada siapa pun yang mengenal Buya Hamka secara pribadi, takkan ada yang menyebut beliau sebagai pribadi yang intoleran. Beliau senantiasa bersikap santun dan pemaaf, termasuk kepada mereka yang pernah menzaliminya sekalipun.
Hal itu diperlihatkannya ketika berinteraksi dengan anak Pramoedya Ananta Toer (sastrawan Lekra yang menjadi lawan politiknya dahulu) dan juga ketika sudi mengimami salat jenazahnya Bung Karno, meski rezim Bung Karno telah menyakitinya sedemikian rupa.
Kisah-kisah ini dituturkan oleh Rusydi Hamka, putra beliau, dalam bukunya, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, dan oleh Irfan Hamka, putra beliau yang lain, dalam bukunya, Kisah-kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.
Seorang ulama yang menyatakan apa yang haram bagi umat Muslim tentu tidak dapat disebut sebagai figur intoleran atau tidak menghargai keragaman. Demikian pula umat Muslim yang mengikuti pendapatnya tidak layak dianggap intoleran, apalagi radikal.