Monday, August 19, 2019

Berkaitan dengan Natal, ada sebuah peristiwa yang kerap dikenang masyarakat Indonesia, yaitu munculnya sebuah fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan umat Muslim untuk mengikuti perayaan Natal. Sebabnya tidak lain adalah karena dalam perayaan Natal tersebut ada ritual-ritual peribadatan agama Kristen, dan menghadiri peribadatan agama lain adalah terlarang bagi seorang Muslim.

Ads by
Munculnya wacana perayaan Natal bersama di masa-masa awal Orde Baru memaksa MUI untuk bertindak cepat. Buya Hamka, ulama besar Muhammadiyah yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI, menceritakan secara singkat peristiwa ini dalam artikelnya, Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?:

“Maka bertindaklah Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H. Syukri Ghazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Natal adalah Haram! Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.”

Artikel yang dimuat di Majalah Panji Masyarakat tahun 1981 dan kemudian dimuat kembali di Majalah Dakwah pada 2008 ini adalah semacam penjelasan seputar masalah yang kemudian bergulir menjadi besar ini. Buya Hamka sendiri kemudian menjadi bulan-bulanan pemerintah Orde Baru karena Fatwa MUI tersebut dan memilih mundur dari jabatannya ketimbang mengubah fatwa hasil diskusi para ulama.

Dari cuplikan di atas, kita dapat melihat sendiri bahwa pendirian Hamka sesungguhnya bahkan lebih tegas lagi ketimbang kesepakatan Komisi Fatwa MUI. Jika menurut Komisi Fatwa menghadiri perayaan Natal itu haram atau berdosa, maka menurut Hamka, hukum sejatinya adalah murtad. Tentulah setiap Muslim mengerti bedanya haram dengan murtad.

”Soal ucapan selamat memang sedikit berbeda dengan menghadiri perayaan Natal. Ulama mengharamkan kehadiran seorang Muslim dalam perayaan Natal. Tapi, ada ulama yang bolehkan Muslim untuk beri ucapan selamat.”
Setelah Orde Lama memenjarakan Buya Hamka selama dua tahun tanpa peradilan, Orde Baru pun mengabaikan jasa-jasanya dan seolah berusaha menghapus nama beliau dari ingatan masyarakat. Barulah pada 2011 beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional, tiga puluh tahun setelah wafatnya. Sebuah penganugerahan yang sangat terlambat. Agaknya, "luka" menganga akibat fatwa tadi tak kunjung sembuh.

Jika kita bertanya kepada siapa pun yang mengenal Buya Hamka secara pribadi, takkan ada yang menyebut beliau sebagai pribadi yang intoleran. Beliau senantiasa bersikap santun dan pemaaf, termasuk kepada mereka yang pernah menzaliminya sekalipun.

Hal itu diperlihatkannya ketika berinteraksi dengan anak Pramoedya Ananta Toer (sastrawan Lekra yang menjadi lawan politiknya dahulu) dan juga ketika sudi mengimami salat jenazahnya Bung Karno, meski rezim Bung Karno telah menyakitinya sedemikian rupa.

Kisah-kisah ini dituturkan oleh Rusydi Hamka, putra beliau, dalam bukunya, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, dan oleh Irfan Hamka, putra beliau yang lain, dalam bukunya, Kisah-kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.

Seorang ulama yang menyatakan apa yang haram bagi umat Muslim tentu tidak dapat disebut sebagai figur intoleran atau tidak menghargai keragaman. Demikian pula umat Muslim yang mengikuti pendapatnya tidak layak dianggap intoleran, apalagi radikal.
Ustaz Abdul Somad dituduh fitnah agama Kristian
TERJEMAHAN SINAR HARIAN | | 17 Ogos 2019

Ustaz Abdul Somad
A A
KUPANG - Briged Meo Nusa Tenggara Timur (NTT) membuat laporan polis terhadap penceramah terkenal Indonesia, Ustaz Abdul Somad berhubung video tentang salib dan patung yang dianggap memfitnah agama Kristian.


"Kami telah melaporkan Ustaz Abdul Somad ke Polis Daerah NTT berhubung ceramahnya yang memburukkan orang Kristian," kata anggota Briged Meo, Jemmy Ndeo kepada Tempo hari ini.

Ceramah Abdul Somad yang tular di media sosial dianggap telah memburukkan orang Kristian dan menurut Jemmy, Abdul Somad harus bertanggungjawab.


"Apa yang dikatakan Ustaz Abdul Somad dalam videonya amat mengganggu masyarakat terutama Kristian.

"Kami melaporkan Ustaz Abdul Somad sebagai individu, ia tidak berkaitan dengan orang Islam," kata Jemmy.

Jemmy turut berharap Ustaz Abdul Somad boleh memberi penjelasan atau memohon maaf berhubung kenyataannya ketika ceramah itu.

"Jika ustaz keliru, maka kami harap ada permohonan maaf dan klarifikasi," katanya.

Tempo masih lagi berusaha mendapatkan pengesahan Abdul Somad berhubung laporan yang dibuat terhadap dirinya. - Tempo




Polis akan menyambung semula proses merakam percakapan Dr Zakir Naik pada Isnin jam 3 petang. - Astro AWANI
KUALA LUMPUR: Polis Diraja Malaysia (PDRM) akan menyambung semula proses merakam percakapan penceramah bebas Dr Zakir Naik pada jam 3 petang ini.

Menurut Pengarah Jabatan Siasatan Jenayah Bukit Aman, Datuk Huzir Mohamed, penceramah terkenal itu akan dipanggil semula berhubung dua kenyataannya yang dipercayai boleh mendatangkan khianat awam di media sosial.

Dr Zakir dalam salah satu ceramahnya mendakwa penganut Hindu di Malaysia tidak menyokong perdana menteri Tun Dr Mahathir Mohamad sebaliknya menyokong Perdana Menteri India, Marendra Modi.

Polis juga telah menerima laporan mengenai kenyataan Dr Zakir meminta kaum Cina keluar dari negara ini.

Beliau bagaimanapun mendakwa beberapa kenyataannya telah diputarbelitkan oleh pihak tertentu.

BACA: Zakir Naik masuk campur isu perkauman - Tun M

BACA: Zakir Naik, Pengerusi Dong Zong, Yew Yin akan dipanggil polis

Menurut Huzir, bagi kedua-dua kes ini, pegawai penyiasat telah mengambil rakaman percakapan Dr Zakir naik pada 16 Ogos 2019 (Jumaat) bermula dari jam 3.30 petang hingga 7.00 malam.

"Prosedur tersebut akan disambung semula pada 19 Ogos 2018 jam 3.00 petang memandangkan pendakwah antarabangsa itu memohon penangguhan untuk berbuka puasa," katanya Huzir dalam kenyataan.

Siasatan dijalankan di bawah Seksyen 504 Kanun Keseksaan atas dakwaan sengaja mengaibkan dengan niat membangkitkan pecah keamanan.

Sabit kesalahan boleh dihukum penjara dua tahun, atau denda, atau kedua-duanya sekali.